Di manapun kita berada, entah itu di lingkungan kerja, sekolah, universitas, keluarga, ataupun di area publik, dapat dipastikan kita akan selalu berinteraksi dengan orang-orang dari beragam latar belakang, dengan beragam karakter atau watak, dan mempunyai temperamen yang berbeda satu sama lainnya.
Dari interaksi dengan orang sekitar lingkungan kita, tentunya kita akan mengenali bahwa ada kekhasan masing-masing individunya. Jikalau kekhasan individu itu positif, patut disyukuri, karena banyak orang akan merasakan betapa menyenangkannya berinteraksi dengan individu yang demikian. Misalkan: penyegar suasana, humoris, pencinta damai, penyayang binatang, pencinta lingkungan, penyabar, penyemangat, pemberi motivasi, dan karakter positif lainnya.
Tetapi bagaimana jikalau kekhasan yang menonjol itu adalah bertemperamen tinggi, mudah tersinggung, mudah marah, mudah emosian, meledak-ledak? Otomatis individu yang seperti ini akan banyak dijauhi orang. Pada akhirnya, yang merasakan dampak ruginya adalah individu yang bersangkutan. Tentunya, kebanyakan dari kita berharap supaya jangan sampai menjadi seperti itu.
Kondisi emosional umumnya terpicu oleh suatu situasi yang tidak menyenangkan bagi individu yang bersangkutan. Akan tetapi, bisa jadi itu karena sang individu terlalu sensitif dan cenderung merespon dengan emosi yang berlebihan.
Beberapa orang memang punya kecenderungan untuk membesar-besarkan situasi, yang malah justru menimbulkan penderitaan, kecemasan, kesedihan dan kekacauan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Ketika berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan itu, bila sang individu tunduk pada emosi, dan membiarkan emosi menguasai dirinya, maka emosi itu akan menyetir kesadarannya. Sehingga alih-alih mengenali sumber permasalahan yang mengganggu, mengusik, membuat jengkel atau frustrasi, supaya bisa merespon dengan sepantasnya, individu bersangkutan justru malah semakin membesar-besarkan suatu kejadian atau peristiwa, semakin larut ke dalam emosinya, dan pada akhirnya semakin merasa sangat tertekan.
Kalau ini kemudian dibiarkan, individu bersangkutan sudah tidak sadar lagi apa yang kemudian diperbuatnya dalam kondisi yang dikuasai amarah dan emosi itu. Sangat mungkin pada akhirnya ia melakukan perbuatan yang akan disesalinya sendiri, dan yang ujung-ujungnya juga membuat luka batin pada orang lain maupun dirinya sendiri.
Seberapa sering di antara kita sudah mengacaukan diri sendiri seperti itu? Sepanjang sejarah, banyak orang mengalami masalah dalam menangani emosi, sampai-sampai ada kutipan seperti ini:
“Sifat pemarah adalah musuh utama akal.”
(Saidina Ali Abi Talib)“Siapapun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah.”
(Aristoteles)
Tidak peduli bagaimana pendapat masing-masing orang tentang amarah maupun emosi, tentunya tidak seorang pun yang akan merasakan nyaman jika berada di sekitar seorang pemarah yang emosional.
Jadi, bila itu kembali kepada diri sendiri, supaya tidak berada pada posisi seorang pemarah atau seorang yang emosional, bagaimana strategi untuk mengendalikan amarah dan emosi?
Menggunakan Termometer Emosi Skala 0-100
Mengutip saran dari buku “Staying Sane in a Crazy World” yang ditulis oleh Arnold A. Lazarus dan Clifford N. Lazarus, kita disarankan untuk menggunakan “termometer emosi” dengan skala 0-100. Penjelasan tentang skala itu sendiri sebagai berikut:
Nol berarti bahwa segala sesuatu berjalan dengan baik, tidak ada ketegangan yang berlangsung, sementara 100 menandakan sesuatu yang sungguh mengancam hidup dan bencana besar.
Dengan bertanya kepada diri sendiri mengenai kekuatan perasaan atau emosi kita, dan mengajak diri sendiri untuk mengajukan angka yang logis pada termometer emosi ini, kita belajar untuk menanyai diri sendiri apakah situasi yang ada memang sudah mendapat porsi skala yang rasional, ataukah kita sedang bereaksi berlebihan. Kita disarankan untuk mencoba mendapatkan angka yang tepat pada termometer emosi ini dan melihat apakah kemarahan kita berkurang.
Menggunakan Teknik Berhitung
Ada saran yang berbunyi seperti ini:
“Kalau marah, berhitunglah sampai sepuluh sebelum berbicara, bahkan seratus kalau sedang marah sekali.”
(Thomas Jefferson)
Dengan berhitung, fokus kita teralihkan dari sesuatu yang negatif, dan secara otomatis kita mulai mengatur napas sendiri. Pada akhirnya, dengan melakukan ‘terapi’ teknik berhitung ini, pikiran kita mendapatkan jeda sesaat sehingga kita memperoleh kesempatan untuk kembali ke dalam kondisi berpikir yang jernih.
Apakah Anda punya cara-cara lainnya yang bisa dibagikan? Monggo, silakan berbagi. :)
Setuju banget gan,,,
emang semua orang takut sama orang pemarah.