Sadar maupun tidak sadar, suka maupun tidak suka, dalam kehidupan ini selalu ada proses dan tahap pembelajaran. Dan selama kita masih hidup, kita akan selalu mempelajari sesuatu yang pernah kita jumpai dalam kehidupan ini. Bagi beberapa orang, mungkin tahap-tahap seperti itu tidak dianggap sebagai “tahap belajar”, barangkali karena mereka tidak sadar bahwa saat itu mereka sebenarnya “sedang belajar”. Bisa jadi, ketidaksadaran ini dikarenakan definisi mereka tentang “belajar” itu sendiri tidak sama dengan orang-orang yang “sadar”. :hammer
Lalu, bagaimana kaitannya antara “kesadaran” vs “ketidaksadaran” ini dengan tahap-tahap belajar itu sendiri? Apakah “belajar” (aksi) dan “kemampuan” (hasil) selalu berbanding lurus? Bila aksi “belajar” tidak pernah berhenti, apakah pada akhirnya “kemampuan” akan naik kelas menjadi “kemahiran”? :nerd
Kalau ditelusuri, ternyata ada kaitan antara “kesadaran” (vs “ketidaksadaran”) dalam pembelajaran, dengan “kemampuan” (vs “ketidakmampuan”). Dan ketika diamati, ternyata dalam proses kehidupan seseorang, sebetulnya ada tahap-tahap tertentu yang akan dialami, dan sepertinya siklusnya memiliki pola yang serupa untuk setiap proses pembelajaran.
- Tidak sadar bahwa diri sendiri tidak mampu
- Sadar bahwa diri sendiri tidak mampu
- Sadar bahwa diri sendiri mampu
- Tidak sadar bahwa diri sendiri mampu
Mungkin bisa dilihat dari kasus seorang bayi. Seorang bayi – pada awalnya – tidak sadar bahwa dia tidak mampu berjalan. Suatu hari sang bayi ini mencoba berjalan, kemudian terjatuh, bangun lagi, mencoba jalan lagi, lalu terjatuh lagi, begitu terus yang terjadi. Bayi ini tidak sadar bahwa dia tidak mampu berjalan, tetapi dia mencoba lagi dan terus mencoba lagi dalam ketidaksadarannya ini. Kita menyebut tindakan sang bayi yang terus “mencoba” berjalan ini, sebagai “tahap belajar berjalan” sang bayi.
Sang bayi yang sudah mencoba berjalan berkali-kali ini, dan terus-menerus terjatuh dalam “tahap belajar” yang tadi. Belakangan, dia mulai mengulurkan tangan kepada orang dewasa di dekatnya untuk mendapat bantuan, dan dari tuntunan tangan orang dewasa itu, kemudian dia mulai ‘betul-betul’ belajar berjalan. Ini pun “tahap belajar berjalan” sang bayi. Bedanya, kali ini sang bayi mulai menyadari bahwa saat itu dia – masih – tidak mampu berjalan.
Seiring proses berlatih berjalan dengan tuntunan tangan orang dewasa tadi, akhirnya tiba saatnya tangan sang bayi lepas dari pegangan orang dewasa itu, entah sang bayi yang melepas pegangannya sendiri, atau orang dewasa itu yang melepaskan tangannya dari sang bayi. Pada tahap ini, sang bayi sudah mendapatkan pengetahuan cara berjalan, mulai menguasai cara berjalan, dan akhirnya dia tahu bagaimana harus berjalan. Ini pun termasuk “tahap belajar berjalan” sang bayi. Tetapi kali ini, dengan kesadaran bahwa dia sudah mampu untuk berjalan, dan si bayi mencoba belajar berjalan dengan “kemampuan” yang sudah didapatnya itu.
Karena sudah terus mengulang dan berlatih kemampuan berjalannya, maka tibalah tahap di mana berjalan sudah menjadi kebiasaan. Sang bayi – seiring pertumbuhan dan penambahan usianya – sudah dapat berjalan tanpa berpikir, tidak lagi menyadari tentang “kemampuan berjalan” ini. Singkat kata, ia lupa bahwa berjalan adalah “kemampuan”.
Ada yang berkata bahwa ini karena “kemampuan” tadi sudah tertanam di alam bawah sadar si bayi. Alhasil, kemampuan berjalannya sudah tidak disadari lagi sebagai “kemampuan”, karena telah menjadi “kebiasaan”. Akhirnya, ketika tumbuh dewasa, kemampuan berjalan ini sudah begitu melekat (yang naik kelas menjadi tahap “kemahiran”) sehingga ketika ia mempraktekkannya, akan secara langsung dipraktekkannya tanpa perlu “kesadaran” akan kemampuannya ini lagi.
Siklus empat tahap ini, rupanya juga dijumpai saat seseorang dewasa, misalnya saat pemantapan / pendewasaan diri. Coba diingat-ingat kembali fase kehidupan kita sendiri. Pernah mengalami seperti itu? :bingung
Banyak dari kita, di saat awal-awal tidak menyadari bahwa kita tidak tahu (tidak punya kemampuan) akan sesuatu. Pada akhirnya, ketika kita ‘tersandung’, kita mulai menyadari bahwa kita tidak mampu. :mewek
Saat menyadari ketidakmampuan itulah, kita mulai mencari tahu, menggali dari pihak luar (orang lain, seminar, buku, internet, dan lain-lain) untuk mempelajari apa yang harus kita ketahui, agar kita bisa memiliki kemampuan itu. Semuanya ini mendorong kita belajar untuk mendapatkan kemampuan itu. Setelah belajar dan terus belajar, akhirnya kita menjadi terbiasa dan menguasai kemampuan itu. Pada saat inilah kita berada dalam tahap menyadari bahwa (akhirnya) kita mampu. :siul:
Jika kemampuan kita ini terus dipraktekkan berulang-ulang, akhirnya ini menjadi kebiasaan, yang mungkin bagi kebanyakan orang lainnya dikategorikan sebagai “kemahiran”. Karena perulangan yang terus-menerus sampai menjadi kebiasaan, kemampuan ini secara tidak sadar terprogram di alam bawah sadar otak kita, sehingga akhirnya kita sudah “tidak sadar” lagi akan kemampuan ini, alias tanpa perlu dipikirkan lagi kita sudah mampu mempraktekkannya. :thumbup:
Kelihatannya setiap proses pembelajaran dalam hidup ini sebenarnya memiliki pola siklus seperti empat tahap tadi. :amazed:
Kalau menurut Anda? :beer: